Benang kusut pengangguran dari lulusan SMK
Sudah hampir setahun, Panji bekerja serabutan. Terkadang, pemuda berusia 19 tahun itu bekerja jadi kuli bangunan. Pada hari lainnya, ia mencari duit dengan berprofesi sebagai tukang ojek untuk mengantar-jemput murid sekolah.
Saban pagi, Panji memeriksa akun surat elektronik via ponsel pintarnya. Ia berharap ada email dari perusahaan yang memanggilnya untuk wawancara pekerjaan. Entah berapa banyak lamaran pekerjaan yang telah ia tebar di jagat maya.
"Tetapi, sampai sekarang, belum ada panggilan dari mana-mana," kata pemuda lulusan sebuah sekolah menengah kejuruan (SMK) jurusan otomotif itu saat berbincang dengan Alinea.id, Senin (16/10).
Panji mengaku sudah bosan menganggur. Di rumah, ia kerap ribut dengan kedua orang tuanya. "Diomelin terus. Tidur dikit, dibangunin. Keluar dikit, disangka main mulu. Pengangguran emang enggak enak, tapi lebih enggak enak lagi diomelin karena nganggur," kata pemuda asal Tangerang, Banten itu.
Panji mengaku bersedia melakukan pekerjaan apa pun yang sesuai dengan ilmu yang ia pelajari. Ia rela jika hanya jadi montir bengkel rumahan untuk bisa punya penghasilan. "Servis ringan sama ganti rem atau bongkar mesin saya masih bisa," imbuhnya.
Situasi serupa sedang dirasakan Dewi, 19 tahun. Lulusan SMK jurusan pemasaran itu sudah setahun menganggur. Padahal, ia rutin nongol di beragam bursa kerja dan telah memasukan puluhan lamaran pekerjaan di perusahaan-perusahaan.
"Tapi, tetap saja belum ada yang kecantol," ucap Wiwik, sapaan akrab Dewi, kepada Alinea.id. Untuk mendapatkan pemasukan, sehari-hari Wiwik membuat dan menjual makanan pesanan berupa salad dan roti bakar di rumah.
Menurut Wiwik, perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor yang selaras dengan jurusannya lebih mengutamakan sarjana S1 ketimbang lulusan SMK. Ia pun kini memutuskan mengambil program administrasi publik di Universitas Terbuka (UT).
"Supaya nanti bisa sambil kerja juga kalau ada panggilan kerja. Jadi, ambil kuliah di UT aja. Biar enak nanti. Bisa kuliah sambil kerja," tutur perempuan asal Batu Ceper, Tangerang, Banten itu.
Sebagai lulusan SMK, Wiwik sadar bakal sulit bersaing mendapat pekerjaan dengan mereka yang pernah mengenyam bangku pendidikan lebih tinggi. Ia pun tak mau "ngoyo". "Kerja di pabrik juga enggak apa-apa. Jadi, resepsionis hotel atau office boy juga enggak apa-apa," ucap dia.
Panji dan Wiwik bisa dikata merupakan bagian dari statistik tingginya angka pengangguran di kalangan lulusan SMK di Indonesia dalam setahun terakhir. Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2023 menemukan proporsi pengangguran dari lulusan SMK sebanyak 9,6% dari populasi usia produktif.
Data itu setidaknya diamini Novalia Tri Astuti (34), seorang guru SMKN 1 Banyuputih, Situbondo, Jawa Timur. Ia bercerita mayoritas siswa lulusan SMKN 1 Banyuputih pada 2023 masih belum mendapat pekerjaan hingga kini.
"Dari tujuh puluhan anak yang lulus dari sekolah kami (pada 2023), yang melanjutkan ke perguruan tinggi hanya tiga orang. Yang bekerja sekitar dua puluhan anak dan sisanya belum mendapatkan pekerjaan," ucap Novalia kepada Alinea.id, Selasa (17/10).
SMKN 1 Banyuputih membuka 6 jurusan, yakni akuntansi keuangan, teknik kapal penangkapan ikan, desain busana produksi, teknik komputer jaringan, agrobisnis pertanian, dan teknik kendaraan ringan. Namun, tak banyak industri di Situbondo yang bisa mengamokadasi lulusan sekolah itu.
Setelah lulus, menurut Novalia, kebanyakan eks siswa SMKN 1 memilih merantau ke Bali dan Banyuwangi. Tidak sampai setahun, sebagian kembali lagi ke Situbondo. Di kedua tempat itu pun tak banyak pekerjaan yang bisa mengakomodasi keahlian mereka.
"Tidak banyak yang bertahan sampai tahunan. Tiga atau enam bulan biasanya sudah kembali lagi ke kampung. Saya lihat jarang orang tua yang mendukung anaknya untuk bekerja merantau jauh, sementara lapangan pekerjaan yang ada di sini terbatas," ucap Novalia.
Pihak sekolah, kata Novalia, sebenarnya sudah berupaya untuk mensinkronisasi kurikulum mereka dengan dunia usaha dan industri. Jalur magang pun terbuka lewat kerja sama pihak sekolah dengan perusahan di Jepang. Namun, upaya-upaya itu belum optimal.
"Untuk magang di perusahaan Jepang, setiap tahun yang berangkat paling tiga sampai lima anak. Skill yang dibutuhkan tinggi, ya. Terus pelatihan dan persiapannya juga agak lumayan intensif. Banyak anak yang akhirnya gugur di pelatihan," ucap Novalia.
Realita serupa juga diungkapkan Barus, bukan nama sebenarnya. Ia adalah seorang guru dari SMKN 1 Bolo, Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB). Barus menyebut lulusan SMK sebagai penyumbang angka pengangguran terbesar di Bima.
"Bahkan, lulusan (SMKN 1 Bolo) bisa lebih dari dua tahun menganggur... Masih sangat sulit kalau di Bima. Belum ada yang betul-betul menyerap karena eksternalnya belum matang untuk menyerap lulusan SMK," ucap Barus kepada Alinea.id, Senin (16/10).
Selain karena minimnya link and match antara kurikulum dan industri, menurut Barus, kompetisi lulusan juga jadi ganjalan. Ia menyebut banyak jurusan di SMK yang tidak didukung dengan alat dan labolatorium yang memadai.
"Kami ada jurusan otomotif, teknik komputer jaringan dan televisi, serta perfilman. Yang sangat kurang itu, alat-alat seperti kamera dan komputer," jelas barus.
Lulusan yang terserap dunia industri, kata Barus, biasanya mereka yang sudah berpengalaman lantaran pernah menjalani praktik kerja lapangan (PKL) di perusahaan. Namun, angkanya tidak besar.
"Kebanyakan (lulusan SMKN) kembali jadi petani. Ada yang buka bengkel kecil-kecilan dan ada yang mencari pekerjaan ke kota lain. Sebagian besar itu ke Jakarta. Ada yang jadi TKI (tenaga kerja Indonesia) ke luar negeri," ucap Barus.
Barus berharap tingginya angka pengangguran dari kalangan SMK itu jadi perhatian pemerintah dan pihak terkait. "Labolatorium yang paling dibutuhkan. Kalau peralatan pendukung juga memadai, peningkatan skill lebih mudah dilakukan. Kapasitas guru juga jadi lebih bisa upgrade," jelasnya.
Tak cukup hanya kurikulum
Peneliti Smeru Research Institute, Goldy Darmawan menyebut sumbangsih lulusan SMK dan SMA kepada angka pengangguran nasional memang tergolong besar dan sudah terjadi selama bertahun-tahun. Ia merinci sejumlah persoalan yang menjadi penyebab sulitnya lulusan SMA dan SMK terserap ke dunia kerja.
Salah satunya ialah kualitas pendidikan di tingkat SMA dan SMK yang tidak kurun beranjak dalam kurun waktu dua puluh tahun terakhir. Sebagai gambaran, ia menyinggung capaian Indonesia dalam Programme for International Student Assessment (PISA) yang diinisiasi oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).
"Bisa dilihat dari capaian PISA yang stagnan dan hasil studi Program RISE Indonesia tentang anak bersekolah, tapi tak belajar. Temuan tersebut menunjukkan bahwa kontribusi dari sistem pendidikan terhadap pembelajaran masih minim. Terlebih lagi, ada dampak pandemi yang menurunkan pembelajaran," ucap Goldy kepada Alinea.id, Senin (16/10).
Kebanyakan siswa SMK, kata Goldy, berasal dari keluarga tidak mampu. Itu setidaknya tergambar dari data statistik serta besarnya jumlah penerima bantuan Program Indonesia Pintar (PIP) dari kalangan siswa SMK ketimbang SMA.
Di lain sisi, kebanyakan SMK di Indonesia merupakan SMK swasta yang minim fasilitas dan tak punya banyak guru yang kompeten. Walhasil, banyak lulusan SMK tidak terserap industri lantaran kapabilitasnya tidak memenuhi syarat.
"Tidak setiap SMK juga punya koneksi atau sistem yang efektif untuk menyalurkan (lulusannya) ke dunia kerja, baik penyelarasan secara formal (melalui MoU atau kesepakatan kerja) maupun informal, yakni koneksi atau hubungan tak terikat antara SMK dengan industri atau perusahaan," jelas Goldy.
Untuk mengurangi pengangguran lulusan SMK, Goldy berpendapat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Riset dan Pendidikan Tinggi (Kemendikbudristek dan Dikti) perlu turun tangan. Ia menyarankan agar Kurikulum Merdeka yang kini diadopsi SMK-SMK didukung fasilitas yang memadai untuk menjalankan praktik-praktik di ruang kelas.
"Dengan Kurikulum Merdeka, SMK sudah didorong agar pembelajaran lebih fokus pada basic skill. Meski demikian, kurikulum saja tidak cukup tanpa implementasi yang berkualitas di dalam kelas. Kemampuan dasar ini penting agar lulusan bisa dilatih untuk bekerja pada bidang yang lebih spesifik," ujar Goldy.
Solusi lainnya, lanjut Goldy, ialah transformasi balai vokasi di bawah Kemendikbudristek-Dikti. Balai-balai vokasi terutama harus didesain agar rutin memberikan pelatihan-pelatihan untuk mendongkrak kualitas guru-guru di SMK.
Selain itu, menurut Goldy, SMK juga perlu menyelaraskan kebutuhan industri setiap waktu. "Perlu mendorong inovasi pembelajaran yang bisa meningkatkan kualitas pembelajaran di SMK yang minim fasilitas," kata dia.
Pengamat pendidikan Darmaningtyas sepakat pemicu tingginya angka pengangguran di kalangan SMK ialah minimnya fasilitas dan peralatan untuk praktik di ruang kelas. Secara khusus, ia menyebut kondisi itu terutama dialami SMK-SMK swasta.
"Sekitar 70% SMK kita swasta. Masalah lain juga lulusan SMK yang diarahkan berkerja di perkantoran itu tidak terserap. Karena instansi (mengharuskan pegawainya) itu minimal (bertitel) sarjana. Jadi, ya, wajar kalau menyumbang pengangguran. Akhirnya, lulusan SMK itu jadi office boy di perkantoran atau cleaning service," ucap Darmaningtyas kepada Alinea.id.
Darmaningtyas berpendapat pemerintah harus serius menanggapi pengangguran di kalangan SMK. Terlebih, kebanyakan siswa SMK berasal dari keluarga tak mampu. Selama ini, SMK diharapkan menjadi solusi untuk keluar dari jerat kemiskinan.
"Kalau pemerintah serius, ya, perbanyak sekolah negerinya dengan penopang labnya. Kalau tidak, ya, bantuan untuk sekolah swasta itu ditingkatkan untuk bisa memenuhi kebutuhan seperti lab dan sebagainya," ucap Darmaningtyas.
Dorong transformasi
Terpisah, Direktur Sekolah Menengah Kejuruan Kemendikbudristek RI Wardani Sugiyanto membantah lulusan SMK menjadi salah satu penyumbang tertinggi angka pengangguran. Ia menyinggung data Sakernas BPS sepanjang 2020-2022 lulusan SMK dan sederajat.
Berbasis data itu, menurut Wardani, jumlah pengangguran di kalangan SMK turun dari 13,55% pada 2020 menjadi 11,33% pada 2021. Pada 2022, angka pengangguran di kalangan lulusan SMK sebesar 9,42%. Artinya, terjadi penurunan hingga 4,13%.
"Itu membuktikan lulusan SMK semakin terserap di dunia kerja karena revitalisasi SMK dan tranformasi pendidikan vokasi. Kendati demikian, Kemendikbudristek melalui Ditjen Pendidikan Vokasi tetap berupaya menjaga tren positif tersebut," ucap Wardani kepada Alinea.id.
Wardani merinci sejumlah pendekatan Kemendikbudristek-Dikti untuk terus memangkas angka penggangguran yang berasal dari kalangan lulusan SMK. Melalui program SKM Pusat Keunggulan, misalnya, pemerintah berupaya terus mengakselerasi kemitraan industri dan SMK.
Para pelaku industri dan praktisi, kata dia, bahkan telah banyak dilibatkan dalam pengembangan kurikulum di SMK. "Termasuk menyusun modul ajar, praktek kerja lapangan, pembelajaran teaching factory dan seterusnya untuk meningkatkan keselarasan pembelajaran di SMK dengan kebutuhan industri," ucap Wardani.
Pemerintah juga sudah menyarankan seluruh SMK untuk melakukan pemetaan jurusan yang dibutuhkan industri agar lebih relevan dengan kebutuhan industri. Jurusan yang sudah terlalu banyak siswanya tidak disarankan untuk kembali dibuka.
"Sedangkan jurusan yang masih sedikit jumlahnya, namun banyak industri yang menerima lulusannya, maka akan diprioritaskan untuk tetap dibuka," ucap Wardani.
Kemendikbudristek-Dikti, menurut Wardani, telah rutin meminta SMK-SMK di Indonesia untuk menyelenggarakan bursa kerja khusus sebagai perantara pihak sekolah dengan dunia industri. Melalui bursa kerja khusus itu, para siswa dapat memperoleh informasi lowongan pekerjaan dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan industri.
Upaya lainnya ialah lewat sertifikasi kompetensi siswa SMK. Sertifikasi kompetensi siswa bakal dilaksanakan melalui tiga skema. Pertama, via lembaga sertifikasi profesi (LSP) yang merupakan sekolah terakreditasi BNSP. "Sementara sertifikasi oleh dunia industri dan uji kompetensi dan keahlian (UKK) mandiri oleh pihak sekolah," ucap Wardani.
Pemerintah, lanjut Wardani, juga mendorong agar siswa SMK berani merambah dunia wirausaha. Lewat desain kurikululum khusus, SMK didorong membekali para siswa dengan keterampilan untuk membuat produk-produk yang laku di pasaran.
"Lewat program produk kreatif dan kewirausahaan serta teaching factory. Skill kewirausahaan yang dimiliki lulusan SMK diharapkan dapat membuat siswa SMK tetap mandiri dan tidak menjadi pengangguran," kata Wardani.